Istilah dimensi bisa dikatakan sebagai
sudut pandang terhadap sesuatu, untuk apa gunanya kita mengkaji ilmu
pengetahuan. Dimensi keilmuan diartikan sebagai pilihan sesorang untuk melihat
dan mengkaji ilmu, misalnya melihat ilmu dari sudut substansinya, cara
memperoleh, mengembangkannya, melihat manfaatnya. Alasan itulah mengapa
filsafat menjadi penting agar kita mampu mengkaji secara komprehensif terhadap
ilmu pengetahuan hingga tuntas.
1. ONTOLOGI
Pengertian
Istilah ontologi berasal dari kata
Yunani ”onta” yang berarti sesuatu “yang sungguh-sungguh ada”, “kenyataan yang
sesunggunya, dan “logos” yang berarti “studi yang membahasa tentang sesuatu”
(Angeles,1981). Jadi ontologis adalah studi yang membahas sesuatu dengan
sungguh-sungguh ada. Sedangkan secara terminologis ontologi diartikan sebagai
cabang filsafat yang mempelajari sifat-sifat dasar dari kenyataan yang
terdalam, ontoogi membahas asas-asas rasional dari kenyataan (Kattsoff,1986).
Dalam ontologi terdapat dua objek yang
bisa dikaji, pertama, objek material,
adalah yang ada, meliputi yang ada sebagai wujud konkrit dan abstrak. Kedua, objek formal adalah memberikan
dasar yang paling umum tiap masalah yang menyangkut manusia, dunia dan Tuhan.
Titik tolak dan dasar ontologi adalah refleksi terhadap kenyataan yang paling
dekat yaitu manusia sendiri dan dunianya (Dandan, 2010:139).
Fungsi Kajian ontologi
Manfaat mempelajari ontologi, antara lain; a)
sebagai refleksi kritis atas objek garapan, konsep serta asumsi ilmu. Ontologi
membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia yang komprehensif. Selain
itu, ontologi juga membantu memetakan batas-batas kajian ilmu, dengan demikian
berkembanglah pengetahuan dari tahun ke tahun.
Objek telaah ontologi adalah yang
ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di
lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika
kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada,
yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang
yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi
berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan
Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua
bentuknya.
1.
Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah,
tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang
kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang
hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima.
Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
2.
Metode dalam
Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi
dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi
metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua
sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah
abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh
Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan
pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term
tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh : Sesuatu
yang bersifat lahirah itu fana
Badan
itu sesuatu yang lahiri
Jadi,
badan itu fana’
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi,
term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat
realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a
posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh :
Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus
Gigi
geligi itu gigi geligi pemakan
tumbuhan
Jadi,
Dinausaurus itu pemakan
tumbuhan
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan
a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan
predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan
yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term
tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan
2.
EPISTIMOLOGI
Pengertian
Epistemologi
Masalah epistemology bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan dengan
sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui
batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang
pada akhirnya tidak dapat di ketahui. Memang sebenarnya, kita baru dapat
menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemology. Kita mungkin terpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanyalah kemungkinan-kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya.
Manusia tidak lah memiliki
pengetahuan yang sejati, maka dari itu kita dapat mengajukan pertanyaan
“bagaimanakah caranya kita memperoleh pengetahuan?
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode
dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui
pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu
manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula
rasa),dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi.
Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi
yang pertama-pertama dan sederhana tersebut.
Ia memandang akal sebagai sejenis
tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan
tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang
dapat diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa
yang tidak dapat atau tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah
pengetahuan, atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang
factual.
b.
Rasionalisme
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel
Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Baran sesuatu sebagaimana
terdapat dalam dirinyan sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh
akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan
jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang
barang sesuatu seperti keadaanya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala
(Phenomenon).
Bagi Kant para penganut empirisme benar
bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada pengalaman-meskipun
benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar,
karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta
pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suau
sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan
yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil
pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.
Salah satu di antara unsut-unsur yang
berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya suatu
bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan
demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi
pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant
masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada
pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman
inderawi maupun pengalaman intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak
mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Intusionisme–setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk-hanya
mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui intuisi, sebagai
lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja-yang diberikan
oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera
hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh
intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah
merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang
dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya
3.
AKSIOLOGI
Dewasa ini
ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi reproduksi dan
penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kamanusiaan itu sendiri,
atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.”
Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal carl gustav jung,” melainkan
faust yang menciptakan Goethe.”
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada
hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal
yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan?
Dimana batas wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan
harus diarahkan? Pertanyaa semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi
ilmuan seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan
yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia
dan hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga,
pertanyaan-pertanyaan ini tak dapat di elakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan
ini maka ilmuan berpaling kepada hakikat moral.
Sebenarnya
sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral namun
dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan
teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar
mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa yang dinyatakan oleh
ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber
pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin
mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain, terdapat
keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang
terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya agama.
Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo
(1564-1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut
pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Sejarah
kemanusiaan di hiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan
nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban telah
menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John Huss dibakar. Dan sejarah
tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di halangi untuk menemukan
kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dapat
melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional yang telah membawa
manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti dengan proses
rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya punya moral,”
kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau mampu
menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian yang
esensial dalam avontur intelektual?.
Jadi pada
dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang ontologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu
itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional
DAFTAR PUSTAKA
Dikutip dari situs http//:
fadlibae.wordpress.com pada hari sabtu, 15 Oktober 2011
http//:www.blogger.com/profile/03249547895308622683noreply@bloger.com
pada
hari sabtu, 15 Oktober 2011
Jujun S. Suriasumantri, 1996, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Louis O. Kattsouff, 1996, Pengantar
filsafat, Yogjakarta: Tiara Wacana
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, 2001, Filsafat
Ilmu, Yogjakarta: Rake Sarasin
Prof. Maman Rahman, dkk, 2009, Filsafat Ilmu, Semarang: UPT UNNES Press
Casino Hotel - MapyRO
BalasHapusCasino Hotel 제주 출장안마 is an old-fashioned place in downtown Detroit. It 구미 출장마사지 has been in the 아산 출장마사지 business for over two decades. It has been 성남 출장샵 in the business since it first opened in 2001 Rating: 8.4/10 · 김천 출장마사지 9 reviews